Pairing : Edward x Tanya
Summary : Kehidupan Edward sebelum bertemu dengan Bella. Sebelumnya, Edward selalu hidup dalam kesendirian. Apakah anggota keluarga Cullen yang lain membiarkan Edward begitu saja dalam kesendiriannya?
A/N : Aku terinspirasi cerita ini dari soal seleksi waktu aku nglamar jadi jurnalis di group facebook Daily Twilight Saga. Thanx to Riza 한윤희 Cassiopeia
Soulmate
Edward POV
“Kau sudah terlalu lama sendiri, Edward.”
“Tidakkah kau ingin mencari seorang pendamping?”
“Kau membutuhkan seseorang, Edward. Kau tidak bisa selalu sendiri.”
“Kau sangat mempesona, siapa yang tidak ingin menjadi pasanganmu?”
“Cepat berikan aku seorang kakak ipar, Edward.”
Aku, Edward Cullen sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan maupun sindiran seperti itu dari keluarganya. Mereka semua menginginkan dia untuk segera menemukan pendamping. Huh, memangnya mereka pikir semudah itu? Oh, mungkin memang mudah bagi mereka—mengingat mereka sekarang sudah memiliki pasangan masing-masing, jadi mereka sudah melupakan seperti apa susahnya mencari seorang pendamping yang memang ditakdirkan untuk kita.
Aku hanya bisa mendengus kesal saat salah satu saudaraku, Emmett Cullen berkata, “Perlukah aku menghubungi biro jodoh untukmu?”
‘Memangnya dia pikir aku tidak bisa mencari pendamping hidupku sendiri? Aku bukannya tidak mau mencari, tapi aku hanya belum menemukan seseorang yang tepat untuk mengisi ruang hatiku ini,’ pikirku kesal.
“Edward.”
Bahkan tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang memanggilku dan apa yang hendak dibicarakan Carlisle denganku. Aku bisa membaca pikiran, ingat?
“Kapan kita akan pergi?” Tanyaku langsung, walaupun aku juga sudah bisa membaca jawabannya dari kepala Carlisle. Oke, lebih tepat dari pikirannya.
“Besok lusa. Kita akan pergi ke tempat keluarga Denali. Kita akan tinggal disana selama beberapa dekade. Sudah tidak aman lagi bagi kita untuk menempati kota ini. Beberapa orang sudah mulai curiga pada kita yang tidak tampak menua setelah beberapa tahun.”
“Baiklah,” jawabku singkat. Carlisle menepuk bahuku pelan dan pergi. Sepertinya dia tahu bahwa aku sedang ingin sendirian.
Aku masih termenung selama beberapa saat sebelum suara Alice muncul dalam kepalaku. Oh, apapun itu, aku bersumpah sepanjang eksistensiku, bahwa apapun yang dikatakannya bukanlah hal baik. Setidaknya untukku.
“Kau tahu, Edward? Kau akan bertemu seseorang disana.”
Lihat kan? Aku tahu kemana akhir dari pembicaraan ini. Aku sudah sangat hapal dengan hal ini dan aku sudah cukup muak.
“Tentu saja kita akan bertemu dengan beberapa orang, Alice. Memangnya kita akan pergi ke pulau tidak berpenghuni?” Jawabku ketus.
“Kau tahu bukan itu maksudku, Edward. Kau tahu betul apa yang kumaksud. Kau bisa melihatnya dalam pikiranku kan?” Ujar Alice tenang.
Aku mendengus kesal. “Entahlah, Alice. Aku tidak mengharapkan apa-apa. Aku juga tidak berharap dari dia. Siapapun dia, aku tidak menginginkannya,” gerutuku.
“Kita lihat saja nanti, Edward. Kau akan melihat bahwa yang kukatakan ini benar. Kau akan segera mendapatkan apa yang kau butuhkan,” kata Alice.
“Kau bukan peramal, Alice. Dan aku juga tidak peduli dengan hal itu,” desisku.
“Ayolah, Edward. Kenapa kau tidak mencobanya saja? Tidak ada ruginya mencoba kan?” Bujuk Alice.
“Tidak akan, Alice. Aku tidak merasakan apa-apa dan aku tidak membutuhkan apa-apa. Apalagi untuk hal seperti ini,” ujarku.
“Kau bahkan belum bertemu dengannya, Edward.”
“Kurasa aku bahkan tidak ingin bertemu dengannya,” ucapku.
“Oh, Edward. Kurasa aku setuju dengan pendapat Emmett bahwa kau perlu menghubungi biro jodoh,” goda Alice dengan santainya.
“Pergilah kau makhluk kecil. Kau benar-benar menjengkelkan,” geramku galak.
Alice mengangkat kedua tangannya kemudian pergi meninggalkanku dengan langkahnya yang ringan.
Aku benar-benar mulai merasa jengkel dengan perlakuan semua keluargaku akhir-akhir ini. Kenapa mereka begitu ingin mencarikan pasangan untukku? Memangnya kenapa kalau sampai saat ini aku masih sendiri? Aku menikmati eksistensiku walaupun aku sendirian. Oke, kata ‘menikmati’ memang kurang cocok, tapi setidaknya aku masih baik-baik saja sampai saat ini.
Aku bahkan cukup yakin bahwa tujuan sebenarnya Carlisle mengajak semuanya mengunjungi keluarga Denali adalah untuk mengenalkanku pada vampire-vampire muda kenalannya disana. Kudengar ada tiga vampire muda disana, entah siapa namanya.
Semua keluargaku tampaknya sangat bersemangat untuk menjodohkanku dengan salah satu dari mereka bertiga. Mereka semua sesekali menyinggung soal ketiga vampire itu dan membicarakan semua kebaikan dan kelebihan mereka. Mereka pikir itu akan membuatku tertarik dan kagum pada mereka. Huh, tidak tahukah mereka bahwa itu semua justru membuatku merasa muak?
Kurasa mereka memang tidak akan berhenti melakukan semuanya sampai aku benar-benar menemukan pasangan.
-o-O-o-
“Kita sudah sampai, Edward. Ini adalah rumah keluarga Denali,” ujar Carlisle. Kami sudah menempuh perjalanan dari kota tempat kami tinggal sebelumnya dan mencapai rumah keluarga Denali.
“Aku sudah tahu, Carlisle. Tentunya ini rumah keluarga Denali karena kita menuju dan berhenti disini,” jawabku datar.
Esme sepertinya menyadari nada suaraku yang tidak tenang. Dia merangkul bahuku dengan lembut dan tersenyum menenangkan. Dari balik bahu Esme, aku bisa melihat Emmett sedang terkekeh. Ingin sekali aku mengajaknya bertarung setelah ini. Akan kupastikan aku menghajarnya.
“Carlisle!”
Seorang vampire pria muda muncul dari pintu rumah. Dibelakangnya ada seorang vampire wanita muda yang memiliki wajah keibuan seperti Esme. Carlisle menoleh menatap orang yang memanggilnya sebelum balas menyapa orang itu.
“Eleazar! Carmen!”
Vampire yang bernama Eleazar menghampiri Carlisle dan menepuk bahunya. Mereka berpelukan seperti layaknya teman lama yang sudah sangat lama sekali tidak bertemu. Sementara itu, vampire yang bernama Carmen menghampiri Esme dan mereka saling berpelukan.
“Kau belum pernah bertemu dengan anak-anakku bukan, Eleazar?” Tanya Carlisle. Secara otomatis, aku dan keempat saudaraku berdiri berjajar di samping Carlisle dan Esme. “Ini Edward, Rosalie, Emmett, Alice dan Jasper.” Carlisle memperkenalkan kami satu persatu.
Eleazar mengangguk dan menjabat tanganku dan keempat saudara ku secara bergantian. Carmen memeluk kami satu per satu.
“Ya—ya. Pastinya kau mendidik mereka menjadi vampire vegetarian juga kan, Carlisle?” Tanya Eleazar memastikan.
“Tentu saja, Eleazar. Kuharap kau pun masih berusaha untuk mengikuti gaya hidup kami,” ucap Carlisle.
“Tentu saja, Carlisle. Kami sudah mulai mengikuti gaya hidup kalian. Jangan khawatir,” ujar Eleazar sambil tertawa.
“Aku senang mendengarnya, Eleazar,” ujar Carlisle sambil tersenyum.
“Ah, ya. Kalian juga harus bertemu dengan teman-teman kami yang lain. Keluarlah kalian!” Panggil Carmen.
Dua detik kemudian, tiga orang vampire muda muncul di sebelah Carmen. Yang seorang berambut pirang stroberi, yang lainnya berambut pirang pucat dan satu lagi berambut pirang nyaris perak.
“Kenalkan. Ini Tanya, Kate dan Irina.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar