Welcome to Felicia Rena's World. I hope you like this world. Thanx for visiting...

Soulmate - 3

Disclaimer : semua karakter milik Stephenie Meyer. I don’t own here.

Pairing : Edward x Tanya

Summary : Kehidupan Edward sebelum bertemu dengan Bella. Sebelumnya, Edward selalu hidup dalam kesendirian. Apakah anggota keluarga Cullen yang lain membiarkan Edward begitu saja dalam kesendiriannya?

A/N : Chapter 3. Aku akan tetap melanjutkan fic ini walaupun tanpa review, karena seorang author seharusnya menyelesaikan fic yang sudah dia mulai. Tapi aku tetap berharap semua yang sudah membaca fic ini mau mereview fic ini.


Soulmate
You’re Beautiful

Edward POV

“Hai, namaku Tanya.”

Tanya mengulurkan tangannya. “Namamu Edward kan?”

Aku menatapnya dengan sedikit curiga. Apalagi kalau yang dikatakan Rosalie itu benar. Aku akan lebih suka jika menjaga jarak dengan gadis ini.

‘Ayolah, kenapa dia tidak mau menjabat tanganku?’ Sebuah suara muncul lagi dalam pikiranku. Suara yang sama dengan yang kudengar tadi. Sekarang aku tahu bahwa itu adalah suara dari pikiran Tanya.

Aku menatap tangan Tanya yang masih terulur ke arahku, kemudian menatap matanya yang memandangku dengan berharap.

“Ya, aku Edward,” jawabku tanpa menyambut uluran tangan Tanya.

Tanya terlihat kecewa ketika menarik kembali tangannya. Senyumnya sedikit memudar ketika menatapku lagi.
“Kau—terlihat tidak suka berada disini. Kenapa? Apa ada yang salah?”

Aku sama sekali tidak menduga dia akan menanyakan hal seperti itu. Sepertinya dia mengatakan itu tanpa memikirkannya—karena aku tidak mendengar apapun dari pikirannya.

“Kurasa, itu bukan urusanmu,” kataku dengan sedikit senyum yang dipaksakan dan nada yang mengutarakan bahwa aku –sedang –tidak –ingin –diganggu. Aku berharap Tanya tahu maksud dari nadaku itu.

“Maaf jika aku mengganggu,” ujarnya. Aku salah jika berpikir akhirnya dia menyadari bahwa aku merasa terganggu, karena kemudian dia melanjutkan, “aku hanya ingin mencoba untuk mengenalmu. Kau akan tinggal disini selama beberapa waktu kan? Jadi kupikir, bukankah lebih baik kita berteman? Aku sudah berteman dengan Alice dan Rosalie. Yah, walaupun tampaknya aku dan Rosalie tidak cocok,” ujar Tanya dengan getir pada kalimat terakhir.

Oh, rupanya Tanya dan Rosalie sependapat bahwa mereka tidak akan cocok. Tanya dan Rosalie memang sama-sama cantik dan rupawan. Sulit mengatakan siapa yang lebih cantik di antara mereka. Aku menatap Tanya dengan maksud menilai ketika kusadari bahwa itu tindakan bodoh karena aku mendengar pikiran Tanya berkata, ‘Dia menatapku. Kenapa dia menatapku seperti itu. Apakah mungkin dia—oh, dia menyukaiku?’

Ugh—dengan segera aku mengalihkan pandanganku ke arah lain dan aku mendengar pikiran Tanya mendesah kecewa. Aku benar-benar ingin segera melepaskan diri dari gadis ini.

“Kenapa kau sendirian saja? Tidak bersama dengan saudara-saudaramu yang lain?”

“Tidak, mereka—mereka punya urusan sendiri,” jawabku datar.

“Oh, jadi benar kukira bahwa saudara-saudaramu yang lain itu—berpasangan? Kulihat tadi mereka keluar berdua-dua. Alice dengan Jasper, Rosalie dengan Emmett, benar?” ujar Tanya sambil tersenyum.

“Ya,” jawabku pendek.

“Kenapa kau sendiri? Apa kau belum menemukan pasanganmu?” Oh—sudah kuduga, Tanya pasti akan segera menanyakan ini. Dan aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan kami nanti.

“Itu bukan urusanmu,” jawabku ketus.

“Ayolah, Edward. Tidak perlu segalak itu padaku. Siapa tahu saja aku bisa membantu?” Tawarnya.

Aku mendengus tertawa. “Bukannya aku tidak menghargai niatmu, Tanya. Tapi, maaf. Kurasa aku tidak membutuhkan bantuan siapapun.”

“Kau yakin, Edward?” Tanya semakin mendekat padaku. Aku mulai merasa terganggu. Aku sangat tidak menyukai topik pembicaraan ini.

“Sangat yakin, Tanya.”

“Kau tidak membutuhkan siapapun? Tidak membutuhkan pasangan? Tidakkah kau merasa—“ membutuhkanku?, kata-kata Tanya berakhir didalam pikirannya, tapi aku bisa mengetahuinya, tentu saja.

“Tidak, Tanya!” Jawabku dengan tegas.

Aku merasa sedikit bersalah melihat kekecewaan yang merayapi wajah Tanya. Tapi Tanya tidak juga beranjak pergi menjauh dariku. Dia tetap berada di tempatnya, yang berjarak hanya sekitar 30cm dariku.

“Baiklah, aku mengerti,” kata Tanya akhirnya. “Tapi aku berharap setidaknya kita bisa menjadi teman.”

Aku berpikir sejenak, menatap wajah Tanya yang tampak sangat berharap. “Tentu saja, Tanya,” jawabku sambil tersenyum.

Baru saja aku menjawab begitu, aku sudah merasa menyesalinya lagi karena pikiran Tanya berkata, ‘Bagus, teman adalah awal mula yang baik. Dekati dia perlahan adalah cara paling baik, kurasa.’

Bagus juga, pikirku getir. Jadi dia belum menyerah tentang aku? Kuanggap pertemanan yang dia maksud ini adalah jebakan.

-o-O-o-

“Jadi?”

“Apa maksudmu, Rosalie?” Tanyaku malas.

Saat ini hari sudah berubah menjadi malam. Aku dan Rosalie memutuskan untuk berburu di hutan belantara teritori keluarga Denali. Tadinya Tanya menawarkan untuk menemani dengan alas an bahwa aku dan Rosalie belum mengenal daerah hutan belantara itu. Tapi untunglah yang akan pergi denganku ini adalah Rosalie, dia menolaknya dengan keras, yang menyebabkan dirinya sempat bersitegang dengan Tanya sebelum kami berangkat berburu.

“Jangan berpura-pura tidak tahu, Edward. Kau jelas bisa membacanya dalam pikiranku,” tukas Rosalie.

“Tentu saja yang kumaksud juga pikiran dalam kepalamu itu. Apa maksudmu bertanya seperti itu?” Sergahku jengkel.

‘Aku hanya ingin tahu, Edward. Apa kau menyukainya? Kulihat daritadi dia terus berusaha mendekatimu.’ Pikiran Rosalie tampak sangat tidak suka.

“Sudahlah, Rosalie. Aku tidak menyukainya. Berapa kali harus kukatakan? Walaupun dia terus mendekatiku, tapi aku tidak akan merubah pikiranku.”

“Aku senang mendengarnya, Edward,” aku Rosalie. “Aku sangat tidak menginginkan dia menjadi saudaraku.”
“Kau sudah mengatakannya sekitar Sembilan belas kali hari ini, Rose.”

“Kalau begitu aku akan mengatakan untuk kedua puluh kalinya, aku tidak suka kalau harus bersaudara dengannya. Tidak, Edward.”

“Baiklah, Rose. Dua puluh kali itu sudah lebih dari cukup,” gumamku sambil tertawa pelan. Rosalie juga menanggapinya dengan tawa merdu.

Kemudian kami melanjutkan perburuan kami. Hutan belantara wilayah keluarga Denali ini benar-benar sangat luas. Aku dan Rosalie berhasil mendapatkan lima ekor rusa jantan untuk memuaskan rasa haus kami.

Ketika tiba saatnya untuk pulang kembali ke rumah keluarga Denali, aku dan Rosalie memutuskan untuk berlomba lari. Kami sudah berjalan cukup jauh ke dalam hutan belantara, jadi jarak yang diperlukan untuk kembali ke rumah keluarga Denali pun cukup panjang, bahkan untuk ukuran kecepatan vampire.

Aku dan Rosalie tertawa-tawa dalam usaha kami untuk saling mengalahkan yang lain. Terkadang dengan sengaja salah satu dari kami menubruk yang lain sehingga akan mengurangi kecepatan yang ditubruk dan member kesempatan bagi yang menubruk untuk melesat jauh meninggalkan yang satu.

Saat rumah keluarga Denali sudah terlihat oleh mata, aku melihat siluet seorang gadis berdiri di depan rumah seolah menungguku dan Rosalie. Atau mungkin memang begitu, pikirku ketika mennyadari bahwa gadis itu adalah Tanya. Rambut pirang ikalnya berpendar pucat seperti stroberi.

Rosalie yang sedang tertawa-tawa bersamaku segera berhenti melihat siapa yang berada di depan rumah. Seketika wajah Rosalie langsung berubah menjadi dingin saat menatap Tanya. Rosalie menatapku dan aku menangkap pikirannya, ‘Hati-hati, Edward.’ sebelum kemudian Rosalie berjalan pelan melewati Tanya, yang berdiri angkuh tanpa mempedulikan Rosalie, dan masuk ke dalam rumah.

“Apa yang kau lakukan didepan sini, Tanya?” Tanyaku. Hanya untuk sekedar sopan-santun pada tuan rumah, pikirku.

“Menunggumu kembali,” jawab Tanya singkat.

“Aku merasa sangat tersanjung untuk itu, Tanya,” kataku sambil tersenyum kecil.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Edward,” ujar Tanya merdu.

“Apa yang membuatku mendapat kehormatan dari tuan rumah malam-malam begini?” Tanyaku, masih dengan senyum.

Tanya berjalan mendekatiku dan berhenti tepat di depanku, hanya berjarak sekitar 15cm. Tanya tidak lebih tinggi dariku, sehingga dengan jarak sedekat ini, dia harus mengangkat wajahnya untuk bisa menatapku.

“Kau bisa membaca pikiran.” Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Dia sudah mengetahui bahwa aku bisa membaca pikiran.

“Ya,” jawabku singkat. Entah mengapa senyumku justru semakin mengembang mendengarnya.

“Kau bisa membaca pikiranku.” Lagi-lagi itu adalah pernyataan. Dia tahu! Aku merasa senyumku mengembang semakin lebar.

“Jadi, kau sudah tahu,” tuduh Tanya akhirnya.

“Ya!” Seruku senang. Walaupun aku juga tidak tahu kenapa aku berkata seperti itu. Sebenarnya aku juga merasa kurang jelas dengan apa yang dimaksud oleh Tanya, tapi mulutku seolah bergerak sendiri. Aku mencoba melihat kedalam pikiran Tanya, tapi kurasa Tanya sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkan apa-apa.

“Jadi, kau tahu? Kau tahu tapi kau diam saja? Kau tahu tapi kau tidak menanggapi apa-apa? Kau sama sekali tidak mengatakan apapun padahal kau tahu kalau—aku menyukaimu?” Jerit Tanya. Nada kekecewaan terdengar dari setiap suku katanya. Senyumku menghilang dalam sekejap mendengarnya.

Jadi itukah yang dia maksud? Oh, tidak.

“Kenapa?” Tanya bertanya dengan lemah.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku juga tidak tahu apa yang dia harapkan dariku dengan jawabanku. Aku memilih untuk diam dan membiarkannya menumpahkan kekesalannya. Ya, aku tahu dia kesal. Entah kesal karena apa.

Tanya menatapku dengan tajam. “Kau tidak menyukaiku?”

Tidak! Seharusnya aku bisa menjawab itu dengan mudah, tegas dan lantang. Tapi mulutku seolah terkunci. Jadi aku hanya diam menatapnya.

“Kau tidak menyukaiku,” gumamnya kecewa. Rupanya dia menganggap absennya kata-kataku sebagai jawaban ‘ya’ untuk pertanyaannya. “Kenapa?” Lagi-lagi dia bertanya. “Kau menyukai orang lain?”

“Tidak,” lagi-lagi mulutku melontarkan jawaban tanpa persetujuanku.

“Lalu kenapa? Kenapa kau tidak menyukaiku, Edward?” Tuntut Tanya.

Aku kembali terdiam. Otakku sibuk memikirkan jawaban yang tidak akan menyakiti Tanya. Aku tidak ingin membuatnya bersedih, walaupun aku tidak menyukainya. Aku tidak ingin siapapun bersedih karena diriku.

“Kau—sangat cantik Tanya, oh—kau tahu itu benar,” kataku ketika aku melihat dia membuka mulut untuk sesuatu yang terlihat seperti membantah. “Tidak perlu milyaran bintang untuk mengatakan bahwa kau sangat cantik. Tidak perlu mencari puluhan gadis cantik atau vampire cantik lainnya untuk mengatakan bahwa kau adalah yang paling cantik (kecuali Rosalie, tentunya, tambahku dalam hati).”

Aku tersenyum lembut pada Tanya. Tanganku terangkat dan membelai pelan rambut pirang ikalnya.

“Kau hanya membutuhkan seseorang yang benar-benar bisa melihat itu semua, Tanya. Aka nada seseorang yang bisa melihatmu lebih baik daripada sekedar kau dalam pandangannku. Bukan berarti aku memandang tidak baik tentangmu. Jangan sampai hanya karena aku, kau kehilangan kepercayaan dirimu,” kataku.

Tanya menatapku dengan pandangan yang sukar di artikan. Entah dia menerima kata-kataku atau kata-kataku justru membuatnya tersinggung.

“Aku tidak akan menyerah,” katanya mantap.

Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti dan Tanya mengulangi kata-katanya.

“Aku tidak akan menyerah, Edward.”

To be continue…

link on FFN : Soulmate - 3
08 Desember 2010,
Felicia Rena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors