Welcome to Felicia Rena's World. I hope you like this world. Thanx for visiting...

You're Not a Murderer - 2


Disclaimer : semuanya milik J.K. Rowling, saya cuma minjam.

Pairing : Draco Malfoy / Hermione Granger

Rated : T


A/N : Chapter 2 ini langsung masuk ke Deathly Hallows. Kalian akan menemukan beberapa kalimat yang persis seperti dalam buku, hanya saja ada bagian yang ceritanya saya ubah sendiri. Chapter ini pembuka di Deathly Hallows.


Ket: Tulisan miring : suara-suara dan mimpi.


You're not a Murderer
"Kau hanyalah anak nakal yang haus perhatian."

Malfoy Manor


Malfoy Manor adalah rumah mewah milik keluarga Malfoy. Draco Malfoy telah melewati masa kecilnya yang bahagia bersama kedua orangtuanya di rumah ini. Malfoy Manor memiliki halaman yang luas dan terawat. Perabotan di dalamnya pun sudah pasti yang terbaik. Dulu, Malfoy Manor bagaikan sebuah istana—dulu.

Sekarang bangunan Malfoy Manor tampak mencekam. Rumput-rumput di halaman tidak lagi terawatt dan tumbuh berantakan. Rumah itu tampak suram, tidak lagi berdiri dengan megahnya. Ditambah dengan langit yang tidak pernah cerah yang menaungi rumah ini dan adanya kabut-kabut yang mengelilingi rumah itu. Sekarang Malfoy Manor pastilah tampak seperti rumah hantu bagi para muggle, walaupun mereka tidak bisa melihatnya.

Tapi keadaan Malfoy Manor belum seberapa dibanding dengan horror yang ada di dalamnya. Sudah beberapa bulan ini, Malfoy Manor menjadi tempat berkumpul para Pelahap Maut. Dan sudah beberapa bulan ini juga, Lord Voldemort tinggal di rumah ini. Rumah ini selalu dijadikan tempat untuk mengadakan rapat bagi para Pelaha Maut, seperti yang sedang berlangsung sekarang.

Ruang tamu Malfoy Manor sudah dipenuhi dengan orang-orang yang duduk mengelilingi meja panjang di tengah ruangan. Perabot-perabot lain yang biasa di ruangan itu didorong sembarangan ke dinding. Satu-satunya penerangan di ruangan itu hanyalah nyala api yang berasal dari perapian. Dan di ujung meja, duduk seorang pria tidak berambut dengan wajah menyerupai ular dan mata merah berkilat.

"Jadi, para Pelahap Mautku, setelah kegagalan kita menangkap Harry Potter kemarin, apakah di antara kalian yang mengetahui kabar baik yang akan kusampaikan?" Pria yang duduk di ujung meja itu mengeluarkan suaranya yang tinggi nyaring.

Dan tanpa menunggu jawaban, pria tersebut mulai berbicara lagi dengan suara lambat dan licin berbahaya, "Kerja bagus dari kawan-kawan kita yang menyusup di kementrian. Mereka sudah berhasil melancarkan kutukan imperius ke separuh lebih orang dalam kementrian yang berhubungan langsung dengan Menteri Sihir. Thichnesse, Dawlish, Hornby, Dwayne—ah—seandainya kita bisa mendapatkan Shacklebolt. Tapi, tidak apa-apa, kawan-kawanku, itu sudah cukup. Sebentar lagi dapat dipastikan, Kementrian akan berada dalam genggaman kita. Dan aku—Lord Voldemort yang agung, akan menguasai dunia sihir."

Lord Voldemort mengeluarkan seringai kejam dan menatap para pengikutnya, menunggu respon dari mereka. Beberapa Pelahap Maut mengeluarkan ekspresi bergairah. Mata mereka menunjukkan tatapan lapar.

"Yang Mulia," kata seorang wanita berkulit gelap yang duduk di sebelah adiknya yang duduk kaku dan tenang, "Kami tentu sangat gembira mendengar kabar itu. Kalau boleh tahu, kapan kita akan melancarkan serangan ke Kementrian?"

"Secepatnya, Bellatrix. Setelah kita mengambil alih Kementrian, tentunya akan lebih mudah bagi kita untuk melacak jejak Harry Potter, menghapus segala perlindungan di tempatnya berada dan segera menghabisinya, bukan begitu, Yaxley?," Tanya Voldemort kepada pria yang duduk di seberang Bellatrix Lestrange.

"Ya, Yang Mulia. Tentu saja," jawab Yaxley dengan bergairah. Yaxley tampak sangat senang Voldemort berbicara kepadanya.

"Seperti yang tentunya sudah kalian ketahui, Yaxley inilah yang banyak berjasa dalam melancarkan kutukan imperius kepada banyak orang dalam Kementrian. Dan untuk itu—aku memberikan ucapan terima kasihku—Yaxley. Kerja yang sangat bagus," ujar Voldemort.

"Ya, terima kasih, Tuan," jawab Yaxley, tampak sangat bahagia mendengar pujian dari Voldemort.

"Tapi—dimana kira-kira Potter berada sekarang?" Tanya Voldemort lambat-lambat.

"Yang Mulia," kata seorang pria yang duduk di sebelah kanan Voldemort. Pria ini berhidung bengkok dengan rambut hitam berminyak. Suaranya lambat dan tenang.

"Saya menduga bahwa pastilah saat ini Potter sedang berada di rumah Weasley. Dan saya juga mengetahui bahwa dua hari lagi keluarga Weasley akan mengadakan pernikahan putra sulung mereka. Menurut saya, tidakkah sebaiknya kita melancarkan serangan pada hari itu?" Usul pria itu, Severus Snape.

"Ya, Severus. Kau benar," ujar Voldemort pelan. Sesaat, Voldemort tampak berpikir.

"Aku tidak mau gagal lagi. Kita harus merencanakan ini sematang mungkin. Aku tidak mau Pelahap Mautku menggagalkan rencanaku—sekali lagi," ujar Voldemort lagi, "Tidak akan ada ampun bagi mereka yang gagal."

"Tuanku, maafkan saya bertanya begini. Tapi, bagaimana jika ada orang-orang yang menyelamatkan Potter dari kekacauan yang akan kita buat di pernikahan itu?" Tanya pria yang duduk di sebelah Yaxley.

"Kau tidak perlu khawatir, Dolohov. Lord Voldemort selalu punya cara. Setelah Kementrian kita taklukkan, kalian harus segera memasang mantra pada namaku, Lord Voldemort. Mantra yang akan membuat kita dapat melacak keberadaan orang-orang yang dengan bodohnya berani menyebut namaku. Dan Potter pasti berada dalam daftar orang-orang bodoh itu."

"Ya—ya tuan. Anda selalu punya ide yang cemerlang," ujar Dolohov lagi dengan nada menjilat, tapi Voldemort sedang mengarahkan tatapannya pada pemuda yang duduk di antara ayah dan ibunya.

"Draco—Aku ingin kau ikut dalam penyerangan kali ini. Aku ingin memberimu kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya menyerang—menyiksa—agar tidak ada lagi kegagalan seperti kemarin, Draco. Kau beruntung aku masih memberimu kesempatan setelah kau gagal membunuh Dumbledore—ah—berterimakasihlah juga pada Severus untuk itu."

Draco Malfoy terpaku menatap Voldemort. Dia bisa merasakan ibunya menegang di sampingnya mendengar ucapan Voldemort. Dia menatap ayahnya—kemudian ibunya dengan gelisah. Ayahnya masih duduk dengan wajah datar sementara ibunya masih dengan wajah tenang tanpa ekspresi.

"Kau akan merasakan, Draco, bagaimana nikmatnya melihat orang yang tidak berdaya di hadapan kita—karena kita. Mendengar mereka memohon-mohon, meminta belas kasihan. Kau akan merasa senang, Draco—aku tahu. Aku memberimu kepercayaan lagi kali ini, Draco. Lakukan! Ikut dalam penyerangan ini, dan kau akan tahu bagaimana rasanya melihat orang mengiba-iba di hadapan kita. Lakukan, atau kau akan merasakan akibatnya!" Ancam Voldemort.

Draco menatap Voldemort, mengangguk pelan dan langsung menunduk lagi. Voldemort tertawa puas.

"Hahaha—Bagus, Draco—bagus—aku yakin bibi Bella-mu akan dengan senang hati membantumu melatih beberapa kutukan yang sedikit—ah—menyakitkan. Bagaimana, Bellatrix?" Tanya Voldemort sambil menatap Bellatrix.

"Tentu—tentu saja tuanku. Dengan senang hati saya akan melatih keponakan tersayangku ini, Yang Mulia. Anda tidak perlu meragukan saya lagi. Anda bisa mempercayai saya," ujar Bellatrix. Wajahnya semburat kemerahan. Dia tampak sangat senang diberi tugas oleh Voldemort untuk melatih keponakannya itu.

"Bagus, Bella. Tidak—aku tidak pernah meragukanmu. Aku tahu aku bisa mempercayaimu," ujar Voldemort lagi.

"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Bellatrix, tampak semakin bahagia. Airmata kebahagiaan mulai merebak di pelupuk matanya yang tebal.

"Sekarang—kita akan menyusun rencana," Voldemort kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja, menatap para Pelahap Mautnya yang duduk diam tanpa ekspresi—menunggu perintah—termasuk Bellatrix, yang sudah bisa menguasai emosinya.

"Aku tidak menginginkan kegagalan dari kalian lagi. Bagi siapapun yang gagal—akan merasakan kemurkaan dari Lord Voldemort," ujar Voldemort lagi dengan suara seperti racun.

Draco Malfoy terbaring lelah di tempat tidurnya. Pertemuan Pelahap Maut tadi membuatnya merasa pusing. Sepanjang pertemuan itu dia selalu merasa gelisah. Setelah pertemuan itu selesai, para Pelahap Maut langsung bubar. Voldemort sendiri pergi entah kemana. Sejujurnya, Draco merasa lega dengan kepergian Voldemort. Dia merasa takut setiap kali bertemu Voldemort.

'Dua hari lagi,' pikir Draco, 'dua hari lagi aku akan ikut dalam penyerangan Kementrian Sihir dan penangkapan Potter.'

Draco merasa bingung, dulu dia pasti akan bangga jika diberi tugas seperti ini oleh Lord Voldemort yang sangat di pujanya. Tapi sekarang, Draco justru merasa resah, gelisah dan takut. Dia terus merasa seperti itu sejak dia merasakan tekanan dari tugas 'membunuh Dumbledore'.

'Tidak, aku tidak boleh lemah. Aku harus bangga diberi tugas seperti ini. Jika Pangeran Kegelapan memberiku tugas, itu berarti dia mempercayaiku. Dan seperti kata bibi Bella, itu suatu kehormatan untukku. Aku tidak boleh mengecewakannya lagi. Aku pasti bisa melakukannya dengan baik. Aku akan buktikan itu. Aku akan menjadi Pelahap Maut sejati,' tekad Draco.

'Menyeberanglah ke pihak yang benar, Malfoy.'

'Sial, suara itu lagi,' batin Draco, 'darah-lumpur sialan, sampai kapan suaranya akan menghantuiku seperti ini?'
Sejak insiden pembicaraannya di kamar mandi bersama Hermione Granger, Draco terus menerus mendengar suara Hermione yang meminta kepadanya untuk memilih pihak yang benar. Bahkan beberapa kali, Draco bermimpi bertemu Hermione yang menatapnya dengan lembut dan berkata,

"Aku tahu kau bukan penjahat, Malfoy. Aku tahu kau tidak akan berbuat jahat."

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Draco dalam mimpinya, "Aku ini Pelahap Maut."

"Ya, kau memang seorang Pelahap Maut. Tapi kau melakukan itu untuk melindungi keluargamu—menjaga mereka agar tetap selamat. Kau tahu? Kau sebenarnya baik, Malfoy."

"Tidak!" Bantah Draco, "aku tidak seperti itu. Aku selalu berbuat jahat padamu, Potter dan Weasley. Kau juga tahu itu. Aku bahkan menyebutmu darah-lumpur. Bagaimana kau masih bisa mengatakan bahwa aku tidak jahat? Bahwa aku sebenarnya—baik?"

Tapi kemudian dia melihat Hermione tersenyum dalam mimpinya, "Tidak, Malfoy. Kau bukan orang jahat dan kau tidak berbuat jahat. Kau hanyalah anak nakal yang haus perhatian. Karena itu kau selalu menjahili orang lain. Untuk membuat dirimu ditakuti—di perhatikan."

'Yeah, kau tahu? Kau—nona-sok-tahu-segala—benar. Aku melakukannya untuk mendapat perhatian. Dan bodohnya, aku baru menyadari jika selama ini aku melakukannya untuk—mendapatkan perhatianmu," batin Draco.

'Kenapa aku jadi mengingatnya?' Pikir Draco, 'tidak, ini tidak boleh terjadi lagi. Aku tidak boleh memikirkan darah-lumpur itu. Ini tidak benar. Ini tidak seharusnya terjadi. Oh—pergilah dari kepalaku, Granger!'

Tapi semakin Draco berusaha melupakannya, wajah gadis itu justru semakin jelas dalam pikirannya. Akhirnya Draco menyerah dan membiarkan bayangan Hermione Granger bermain dalam kepalanya. Dia teringat wajah Hermione yang tersenyum sedih—pada malam terbunuhnya Dumbledore—ketika dia akan ber-Dissaparatte. Granger—

'Granger! Tidak!' Draco teringat sesuatu dan dia melompat bangun dari tempat tidurnya dan mulai berjalan hilir-mudik, 'Granger akan ada di pesta pernikahan itu. Pasti. Dia bisa celaka. Tidak—aku tidak ingin dia terlu—apa?—tung—tunggu dulu—kenapa aku memikirkannya lagi? Kenapa aku tidak ingin dia terluka?' pikir Draco tidak mengerti.

'Apa urusannya denganku kalau dia terluka? Kalau dia celaka? Aku tidak peduli apapun yang terjadi pada dirinya—darah-lumpur kotor itu. Tapi—tapi—ak—aku —'

"Aaaaarrrggghhhhh!" Teriak Draco frustasi.

Untunglah Draco selalu memasang mantra Muffliato—mantra yang di ajarkan Snape kepadanya—di sekeliling kamarnya. Dia menduga teriakannya tadi pastilah akan terdengar sampai lantai bawah jika dia tidak memasang mantra Muffliato. Dia tidak mau di interogasi ibunya mengenai alasan dia berteriak seperti itu. Tidak—jika alasannya adalah karena darah-lumpur itu.

"Menyingkirlah kau dari kepalaku darah-lumpur!" Umpat Draco kesal.

Draco kembali menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan mencoba berpikir jernih. Dia mencoba menutup matanya—berharap akan mendapatkan ketenangan. Tapi ternyata ketika dia menutup matanya, bayangan Hermione justru semakin jelas muncul di kepalanya.

'Tidak—Granger—pergilah—jangan ganggu aku—tidak boleh—ini tidak boleh terjadi—tidak—pergilah—keluarlah kau dari kepalaku—Granger—'

Dan dengan pikiran-pikiran seperti itu, Draco tertidur tidak lama kemudian. Dalam tidurnya, dia kembali bermimpi bertemu Hermione, yang tersenyum lembut padanya—lagi. Dan tanpa disadari Draco, selagi dia bermimpi, sudut-sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman.
.
.
.
To be continue...

13-14 September 2010,
Felicia Rena 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors