Disclaimer : semuanya milik J.K. Rowling, saya cuma minjam.
Pairing : Draco Malfoy / Hermione Granger
Rated : T
A/N : Chapter 5 memasuki perang Hogwarts.
You're not a Murderer
"Ini jalan yang kupilih"
Disinilah aku sekarang—kembali ke Hogwarts. Tentu saja aku tidak kembali untuk melanjutkan sekolahku atau belajar. Tidak—setidaknya untuk saat ini. Aku kembali bersama kedua sahabatku, untuk melanjutkan tugas kami—mencari Horcrux.
Kami kembali—masuk ke Hogwarts melalui jalan rahasia di Hog's Head. Kami muncul di Ruang Kebutuhan, yang sudah dipenuhi banyak orang. Kau tahu? Mereka bersiap untuk perang. Ya—perang.
Aku tidak menyangka perang akan terjadi secepat ini. Tapi aku memang sudah menyiapkan diriku untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Aku tahu perang ini akan terjadi, cepat atau lambat.
Perang akan segera dimulai. Kau-Tahu-Siapa sudah menyatakan perangnya. Kami—semua yang siap bertempur, berkumpul bersama di aula besar untuk kemudian berjuang mempertahankan Hogwarts, Dunia Sihir dan Harry Potter.
Aku berlari menyusuri koridor dengan taring-taring Basilisk dalam pelukanku. Aku dan Ron baru saja berhasil masuk ke dalam Kamar Rahasia dan mengambil taring-taring Basilisk. Untuk apa? Well—tentu saja karena racun Basilisk memiliki fungsi untuk menghancurkan Horcrux.
"Harry!" Aku menemukan orang yang sedang kucari-cari.
"Hermione! Ron! Darimana saja kalian? Aku mencari kalian kemana-mana tadi," tanya Harry.
"Kami baru saja dari Kamar Rahasia, mate. Lihat, satu Horcrux sudah dihancurkan," kata Ron sambil mengangkat piala Hufflepuff yang sudah berlubang dan mengeluarkan asap.
"Tapi—bagaimana kalian bisa masuk kesana? Bukankah diperlukan parseltongue untuk bisa membuka jalan rahasia?" Tanya Harry lagi.
"Ron bisa!" Pekikku bersemangat.
"Yeah, aku berusaha menirukan suara desisanmu dulu. Memang sih butuh waktu agak lama, tapi akhirnya kami bisa masuk," ujar Ron.
"Well—baiklah. Dengar, aku sudah tahu kemungkinan letak Horcrux Diadem Ravenclaw," kata Harry.
"Benarkah?" Mataku membulat terkejut. Ron juga melongo sesaat.
"Yeah, ikuti aku. Kita akan menuju ke Ruang Kebutuhan!" Seru Harry sambil berlari menuju lantai tujuh, tempat Ruang Kebutuhan berada.
Aku mengikutinya berlari, menerobos kerumunan orang-orang yang sedang mempersiapkan pertahanan untuk perang. Kami sampai di dinding yang menjadi jalan masuk menuju Ruang Kebutuhan. Kamar itu kosong, hanya ada tiga wanita, Ginny, Tonks, dan seorang penyihir wanita tua memakai topi yang sudah dimakan ngengat—aku mengenalinya sebagai nenek Neville.
"Ah, Potter," kata penyihir tua itu ketika melihat kami. "Kau bisa memberitahu kami apa yang sedang terjadi?"
"Apa semua orang baik-baik saja?" Tanya Ginny dan Tonks bersamaan.
"Sejauh yang aku tahu," kata Harry, "apakah masih ada orang di lorong menuju Hog's Head?"
"Aku yang terakhir lewat dan aku menyegelnya. Kau melihat cucuku?" Tanya Mrs. Longbottom.
"Dia sedang bertempur," jawab Harry.
"Tentu saja," kata wanita tua itu bangga. "Maaf, aku harus pergi dan membantunya."
Setelah wanita tua itu pergi, giliran Tonks bertanya, "Apakah kau melihat Remus?"
"Dia tadi merencanakan memimpin sekelompok pejuang ke halaman—"
Tanpa sepatah kata lagi, Tonks bergegas pergi.
"Ginny," kata Harry, "Sori, tapi kami perlu kau juga pergi. Cuma sebentar. Setelah itu kau bisa masuk lagi."
Ginny tampak gembira sekali bisa meninggalkan tempat itu.
"Dan setelah itu kau bisa masuk lagi!" Harry berteriak kepadanya, ketika Ginny berlari menaiki tangga menyusul Tonks. "Kau harus kembali lagi kesini!"
Setelah Kamar Kebutuhan kosong, kami kembali ke koridor. Situasi dalam kastil tampak semakin parah. Sepertinya pertempuran sudah mulai memanas. Dinding-dinding dan langit-langit bergetar keras. Debu-debu memenuhi udara dan berbagai kilatan cahaya menyambar ke berbagai jurusan.
"Ayo!" Kata Harry.
Kami berbalik menghadap hamparan dinding kosong dan memohon dalam kepala kami, seperti yang sudah diperintahkan Harry, Aku perlu tempat di mana segala sesuatu disembunyikan. Pintu muncul pada putaran ketiga.
Hiruk-pikuk pertempuran padam begitu kami melangkahi ambangnya dan menutup pintu dibelakang kami. Kamar Kebutuhan menjadi ruangan seukuran katedral dengan penampilan seperti sebuah kota, dinding-dindingnya yang menjulang tinggi terbentuk dari benda-benda yang disembunyikan oleh ribuan pelajar yang sudah lama pergi.
"Kita berpencar," kata Harry, "cari patung laki-laki tua memakai wig dan tiara! Patung itu terletak di atas lemari dan jelas disekitar sini."
. . .
Draco Malfoy POV
Aku menatap hamparan dinding kosong di hadapanku. Lagi-lagi, Pangeran Kegelapan memberiku tugas—kali ini bersama dengan Crabbe dan Goyle. Aku diperintahkan untuk masuk ke dalam Kamar Kebutuhan dan mencegah Potter untuk bisa mendapatkan dia—diadem.
Aku melihat Potter memasuki ruangan ini beberapa menit yang lalu, bersama si Weasley dan Granger. Sekarang saatnya aku masuk. Aku memohon di dalam kepalaku dan ruangan tersebut muncul. Aku masuk bersama Crabbe dan Goyle—mereka tampak bersemangat sekali—terutama Crabbe.
Aku melihat mereka berpencar ke lorong-lorong. Sekilas aku melihat si Granger berbelok masuk ke salah satu lorong dan aku harus mencegah diriku sendiri untuk mengejarnya. Aku harus mengutamakan tugasku lebih dulu. Cegah Potter mendapatkan diademnya dan bawa dia ke tempat Pangeran Kegelapan—secepatnya, supaya tidak ada yang perlu terluka. Well—aku tidak peduli kalau Weasel itu terluka, tapi aku tidak ingin gadis itu terluka. Oh ya—aku sudah lama menyerah kepada kebodohanku itu sejak aku melindungi gadis itu saat disiksa dirumahku. Kebodohanku untuk melindunginya, walapun aku tidak mau mengakui kenapa aku melakukan itu.
"Kau lihat, Draco? Itu si Darah-lumpur," kata Crabbe pelan. Aku jadi tesadar bahwa daritadi aku terus memandangi arah dimana Hermione menghilang.
"Bagaimana kalau kita mengikutinya dulu sebentar? Satu atau dua mantra kutukan bolehlah," kata Crabbe lagi. Dia menyeringai kejam. Aku tersentak mendengarnya.
"Tidak," kataku dingin, "tugas kita adalah mencari Potter. Kita tidak ada urusan dengan gadis itu."
"Oh—kau sudah tidak memanggilnya Darah-lumpur, Draco?" Tanya Crabbe, "kenapa?"
"Ap—? Oh—tentu saja—Darah-lumpur," aku kembali mengeluarkan umpatan yang sebenarnya sudah lama ingin ku lupakan.
"Sudahlah—lakukan tugas kita," kataku kemudian.
Aku melihat Potter berjalan menyusuri salah satu lorong. Dia sudah mengulurkan tangannya. Sepertinya dia sudah menemukan apa yang dicarinya. Dan benar saja—aku melihat dia mengulurkan tangannya ke arah patung penyihir berwajah bopeng memakai wig tua berdebu dan apa yang kelihatan seperti tiara kuno yang sudah pudar warnanya.
Aku mengangkat tongkat milik ibuku yang kupinjam. Crabbe dan Goyle juga mengangkat tongkatnya. Kemudian aku menghentikan Potter.
"Tunggu, Potter."
Dia berbalik dan mengacungkan tongkatnya juga setelah melihat kami.
"Jadi, mengapa kalian tidak bersama Voldemort?" Tanya Harry.
"Kami akan mendapat hadiah. Kami memutuskan untuk tetap disini. Memutuskan menyerahkanmu padanya," jawab Crabbe.
"Jadi, bagaimana kalian bisa masuk kesini?" Tanya Harry.
"Aku boleh dikatakan hidup di Ruang Penyembunyian Barang sepanjang tahun lalu," kataku serak. "Aku tahu bagaimana caranya masuk."
"Harry?" aku mendengar suara si Weasel itu bergaung dari sisi lain tembok. "Kau bicara dengan siapa?"
Secepat kilat, Crabbe mengacungkan tongkatnya ke gunungan perabot tua, peti-peti rusak, buku-buku dan jubah-jubah tua dan barang-barang tak dikenali lain setinggi satu setengah kilometer, dan berteriak, "Descendo!"
Tembok mulai bergoyang dan ambruk ke lorong tempat si Weasel itu berada. Aku bisa mendengar Granger menjerit dari sisi lain lorong.
Crabbe sudah mengangkat tangannya lagi untuk meluncurkan mantra ke tempat suara Granger berada.
"Jangan!" Teriakku.
Crabbe menghentikan gerakan tongkatnya dan menatapku dengan pandangan bertanya. Aku tahu aku harus segera mencari alasan. Tidak mungkin aku berkata bahwa aku melarangnya karena aku tidak ingin Granger terluka.
"Kalau kau menghancurkan ruangan ini, barang yang disebut diadem ini bisa terkubur," aku berhasil menemukan alasan yang masuk akal.
"Memangnya kenapa? Potter yang diinginkan Pangeran Kegelapan. Siapa peduli soal di-adem?" Kata Crabbe.
"Potter kesini untuk mengambilnya," aku mulai kehilangan kesabaranku. "Maka itu pasti berarti—"
"Siapa yang peduli apa yang kau pikirkan? Aku tidak menerima perintah-perintah mu lagi, Draco. Kau dan ayahmu sudah habis," kata Crabbe dengan tatapan garang ke arahku.
"Crucio!"
Potter sudah menjangkau tiara. Kutukan Crabbe meleset dan menghantam patung dada, yang terlontar ke udara. Diademnya melesat ke atas dan kemudian terjatuh lenyap dari pandangan.
"STOP!" Teriakku. "Pangeran Kegelapan menginginkan Potter dalam keadaan hidup."
"Jadi? Aku tidak membunuhnya kan?" Balas Crabbe, tepat ketika si Granger muncul dan mengirim Mantra Bius kepada Crabbe. Serangan itu tidak kena sasaran karena aku berhasil menarik tangan Crabbe untuk menghindari kilatan cahaya merah itu.
"Itu si Darah-lumpur! Avada Kedavra!"
Aku nyaris menjerit lagi melihat kilatan cahaya hijau meluncur ke arah Granger. Untunglah Granger bisa berkelit menghindari kutukan itu. Kemudian Potter meluncurkan Mantra Bius pada Crabbe, yang menggelosor jatuh dan menabrak tongkatku, membuatnya terbang entah kemana.
"Jangan bunuh dia! JANGAN BUNUH DIA!" Teriakku lagi kepada Crabbe dan Goyle yang sudah mengacungkan tongkatnya ke arah Potter. Sialnya, Potter menggunakan keraguan Crabbe dan Goyle untuk balas menyerang.
Mereka kembali bertempur. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa tongkat sihir di tanganku. Beberapa saat kemudian, aku menyadari Granger sedang menatapku. Dia mendekatiku perlahan sementara kedua temannya sedang bertempur. Tongkatnya masih tergenggam erat di tangannya. Dia berhenti dalam jarak 3 meter. Wajahnya melembut ketika dia berkata pelan.
"Aku percaya padamu, Malfoy. Aku tahu apa yang kau lakukan."
Aku membuka mulutku, tapi sebelum aku bisa berkata sepatah katapun, aku mendengar bunyi gemuruh dan ledakan. Aku melihat Crabbe menggunakan Fiendfyre—api kutukan untuk menyerang Potter. Aku mendorong minggir Granger untuk menghindari salah satu semburan api yang meluncur ke arah kami. Granger tampaknya segera menyadari apa yang sedang terjadi.
"Harry!" Jeritnya, kemudian dia bangkit, menoleh sekilas ke arahku dan menghilang lagi dalam pertempuran.
"LARI!"
Aku bisa mendengar teriakkan Potter, tapi aku sudah menyambar Goyle yang pingsan dan menyeretnya. Crabbe sudah berlari entah kemana, tampaknya dia tidak bisa mengendalikan lidah-lidah api yang dibuatnya. Itu berarti kita semua dalam bahaya.
Aku berusaha berlari dan mencari jalan untuk keluar dengan membawa Goyle yang masih pingsan. Aku tidak melihat lagi keberadaan Potter, Weasley dan Granger. Aku semakin panik dalam usahaku mencari pintu keluar.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan—tanpa tongkat sihir. Aku tidak berhasil menemukan pintu keluar sementara lidah-lidah api menjalar semakin cepat. Aku sudah hampir putus asa ketika aku melihat Potter dan kedua temannya melesat di atasku. Mereka berada di atas sapu.
"Harry!"
Aku melihat gadis Granger itu memanggil Potter sambil menunjukku. Potter tampaknya mengerti apa yang dimaksud Granger karena kemudian dia meluncur turun ke arahku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangan Potter sementara si Weasley membantu mengangkat Goyle yang masih pingsan ke atas sapunya. Aku naik ke sapu Potter.
Potter meluncur dengan cepat, tapi dia tidak menuju ke arah pintu seperti Weasley. Dia justru berbelok menembus asap hitam yang mengepul bergelombang. Aku nyaris tidak bisa bernapas. Aku ingin protes dan menyuruh Potter untuk kembali ke arah pintu keluar, tapi rasanya aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk itu.
Tiba-tiba Potter berbelok lagi dengan tajam dan yang berikutnya kuketahui adalah akhirnya aku menghirup udara bersih di koridor lantai tujuh.
. . .
Draco membuka matanya perlahan. Dia baru saja mendengar adanya ledakan di halaman diikuti serentetan bunyi ledakan di beberapa lantai dibawahnya.
Draco mengerjap dan pemandangan di lantai tujuh langsung terlihat jelas. Beberapa dinding ruangan sudah runtuh. Debu beterbangan ke berbagai arah. Langit-langitnya tidak berhenti bergetar. Di kejauhan masih terdengar bunyi-bunyi ledakan dan teriakan.
Menoleh ke sebelahnya, Draco melihat Goyle sudah tidak ada di tempat Draco terakhir melihatnya terbaring pingsan. Kemudian Draco memutuskan untuk berdiri dan mulai berjalan di antara reruntuhan. Dia tidak melihat seorangpun di lantai ini—hanya saja beberapa kali dia melihat ada tubuh-tubuh yang tergeletak bersimbah darah di antara reruntuhan.
Draco terus berjalan dan melompat kaget ketika tanpa sengaja dia menginjak tubuh seseorang. Dengan ngeri dia melihat tubuh itu mengenakan jubah hitam Pelahap Maut dan sudah tidak bernyawa. Perlahan Draco membalik tubuh itu dengan kakinya dan melihat topengnya sudah terlepas. Dia mengenali wajah itu—Rookwood.
Draco mengernyit memandang wajah itu. Entah apa yang dirasakannya—jijik, takut, senang, atau sedih?
Ketika Draco membalik lagi tubuh itu supaya dia tidak perlu memandang wajahnya, jatuh tongkat milik Rookwood dari antara lipatan jubahnya. Draco mengambil tongkat itu, menimangnya sesaat dan memutuskan untuk membawanya—untuk berjaga-jaga terhadap serangan. Draco menggenggam tongkat itu erat-erat di tangannya dan mulai berjalan turun ke lantai bawah, dimana suara-suara pertempuran masih terdengar.
Dengan mantap, Draco melangkahkan kakinya menuruni tangga. Tongkat sihir Rookwood masih digenggam erat di tangannya. Wajah pucatnya dipenuhi tekad—tapi bukan tekad untuk menghancurkan atau merusak untuk bersenang-senang seperti dulu lagi. Tidak—dia sudah memilih jalannya. Dia sudah memilih, kepada siapa dia akan berpihak. Kepada siapa dia akan memberikan kesetiaannya. Untuk siapa dia akan bertempur.
Terbayang dalam kepalanya, wajah gadis itu tersenyum. Gadis yang selama ini selalu memenuhi pikirannya.
'Aku tahu kau akan memilih jalan yang benar, Draco,' bisik gadis itu dalam kepalanya. 'Aku percaya padamu.'
"Ya, aku tidak akan salah jalan. Ini keputusanku. Aku sudah memilih jalanku," ucap Draco penuh tekad.
.
.
.
To be continue…
link on FFN : You're Not a Murderer - 5
8 Oktober 2010,
Felicia Rena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar