Welcome to Felicia Rena's World. I hope you like this world. Thanx for visiting...

You're Not a Murderer - 7


Disclaimer : semuanya milik J.K. Rowling, saya cuma minjam.

Pairing : Draco Malfoy / Hermione Granger

Rated : T


A/N : Chapter ini Final Battle. Alur chapter ini langsung setelah Harry nyerahin diri ke Voldemort. Bagian awal adalah potongan dari Deathly Hallows yang alurnya kupercepat.



You're not a Murderer
"Aku tidak akan mati tanpa melawan"

"Harry Potter sudah mati. Dia terbunuh ketika melarikan diri, berusaha menyelamatkan diri sementara kalian semua mengorbankan nyawa untuknya. Kami membawa mayatnya sebagai bukti pahlawan kalian sudah pergi.

Pertempuran sudah dimenangkan. Kalian sudah kehilangan separo dari pejuang kalian. Pelahap Maut-ku lebih banyak daripada kalian dan Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup sudah tamat riwayatnya. Tak boleh lagi ada pertempuran. Siapa pun yang masih terus melawan, laki-laki, perempuan, atau anak-anak, akan dibantai, begitu juga semua anggota keluarga mereka. Keluarlah dari kastil, sekarang, berlututlah di depanku, dan kalian akan selamat. Orangtua dan anak-anak kalian, kakak dan adik kalian akan tetap hidup, dan diampuni, dan kalian akan bergabung denganku dalam dunia baru yang akan kita bangun bersama-sama."

Suara Voldemort kembali berkumandang di seluruh penjuru Hogwarts. Kali ini apa yang di ucapkan Voldemort membawa dampak yang luar biasa bagi yang mendengarnya.

Aula Besar sunyi senyap, padahal puluhan orang sedang berkumpul ditempat itu. Mereka semua membeku ditempat masing-masing, sibuk mencerna perkataan Voldemort. Harry Potter—mati?

Saling berpandangan, semua orang segera berlari menuju Aula Depan. Menantikan bukti yang dijanjikan oleh Voldemort. Harry Potter tidak mungkin mati.

Dan itu dia—serombongan orang tampak mendekat dari arah Hutan Terlarang. Hagrid ada dalam rombongan orang-orang itu. Tidak mungkin salah untuk mengenali Hagrid kan? Mengingat ukuran tubuhnya yang luar biasa besar? Hagrid tampak seperti membawa sesuatu dalam gendongannya—ataukah seseorang?

Para Pelahap Maut berhenti. Mereka menyebar dalam satu baris menghadap ke pintu-pintu depan sekolah yang terbuka, berhadapan langsung dengan para pejuang Hogwarts yang keluar dari kastil untuk menyaksikan sendiri kebenaran kata-kata Voldemort.

"TIDAK!"

Tidak pernah ada seorangpun yang dapat membayangkan seorang Minerva McGonnagall dapat membuat suara yang terdengar sangat memilukan seperti itu. Bellatrix tertawa puas mendengar jeritan putus asa McGonnagall.

"Tidak!"

"Tidak!"

"Harry! HARRY!"

Suara Ron, Hermione dan Ginny memicu kerumunan pejuang Hogwarts untuk berteriak-teriak dan memaki para Pelahap Maut, sampai Voldemort berteriak dan terdengar letusan. Detik berikutnya, kesenyapan dipaksakan pada mereka semua sementara Voldemort kembali berbicara, menceritakan kisah kebohongan tentang bagaimana seorang Harry Potter mati di tangannya.

Tiba-tiba Neville Longbottom keluar dari kerumunan dan berlari menyerbu Voldemort. Dengan satu letusan lagi, Voldemort membuat Neville terbanting ke tanah.

"Dan siapa ini? Siapa yang telah bersukarela mendemonstrasikan apa yang terjadi kepada mereka yang terus melawan ketika sudah kalah perang?" Desis Voldemort.

"Itu Neville Longbottom, Yang Mulia! Anak yang selama ini memberi banyak kesulitan kepada kakak-beradik Carrow! Anak pasangan Auror itu, ingat?" Bellatrix tertawa senang.

"Ah, ya, aku ingat. Tapi kau berdarah-murni, kan, anak pemberani?" Voldemort menatap Neville yang berdiri menghadapinya dengan tangan mengepal.

"Kenapa kalau iya?" Tanya Neville keras.

"Kau menunjukkan semangat, keberanian dan kau dari keturunan bangsawan. Kau akan menjadi Pelahap Maut yang berharga. Kami membutuhkan orang seperti kau, Neville Longbottom."

Dengan tegas, Neville meneriakkan penolakan terhadap 'tawaran' Voldemort. Mendengar itu, Voldemort kembali berbicara dalam suaranya yang penuh kelicinan dan berbahaya.

Voldemort melambaikan tongkat sihirnya. Beberapa detik kemudian, dari salah satu jendela kastil yang kacanya pecah, Topi Seleksi meluncur dan mendarat di tangan Voldemort. Kemudian Voldemort menyatakan bahwa tidak aka nada lagi seleksi di Hogwarts. Voldemort mengacungkan tongkatnya pada Neville, membuatnya jadi kaku dan memaksakan Topi Seleksi itu ke kepala Neville.

"Neville ini sekarang akan mendemonstrasikan apa yang terjadi pada siapa pun yang cukup bodoh untuk terus melawanku," kata Voldemort, dan dengan jentikan tongkat sihirnya, dia membuat Topi Seleksi berkobar menyala.

Jeritan-jeritan membelah subuh. Neville terbakar di tempat, tidak mampu bergerak karena kutukan ikat-tubuh sempurna yang dikenakan Voldemort padanya.

Dari kejauhan terdengar kegaduhan yang kedengarannya seperti ratusan orang datang memanjat tembok-tembok yang tak kelihatan dan menyerbu ke arah kastil, meneriakkan keras yel-yel peperangan. Pada saat yang sama, Grawp muncul dari sisi lain kastil dan meraung memanggil Hagrid. Para raksasa Voldemort berlari menyerbu Grawp. Para Centaurus datang menyerbu dan membuat para Pelahap Maut berlari serabutan.

Kekacau-balauan terjadi. Baik Pejuang Hogwarts maupun Pelapah Maut sama-sama terpaksa mundur ke dalam kastil sampai ke dalam Aula Besar. Pertempuran yang seru sudah berlangsung di Aula Besar.

Lebih banyak lagi orang yang menyerbu undakan depan. Para peri-rumah Hogwarts menyerbu ke dalam Aula Depan, berteriak-teriak dan mengacungkan pisau daging dan golok besar. Mereka memarang dan menusuk pergelangan kaki dan tulang kering para Pelahap Maut.

Voldemort berada di pusat pertempuran, menyerang semua orang yang berada dalam jangkauannya. George dan Lee Jordan bertempur melawan Pelahap Maut Yaxley, sementara Ron dan Neville melawan Manusia Serigala Fenrir Greyback. Arthur dan Percy Weasley menjatuhkan Thicknesse dan Dolohov ambruk di tangan Flitwick.

Bantuan-bantuan yang datang secara tidak di duga sangat menguntungkan bagi pihak Hogwarts. Mereka yang tadinya kalah jumlah, sekarang berbalik unggul dari para Pelahap Maut. Dengan mudah mereka mulai menjatuhkan satu-persatu para Pelahap Maut.

Draco Malfoy juga berada di tengah pertempuran. Tidak. Dia tidak bertempur. Terdesak-desak kerumunan orang, dia mencari orangtuanya. Dia menjulurkan kepalanya, berusaha melihat di antara kerumunan orang-orang yang mendesak masuk ke dalam Aula Besar. Sebaliknya, dia justru berusaha keluar dari Aula. Dia yakin orangtuanya tadi ada bersama rombongan Pelahap Maut. Dia melihatnya sendiri tadi. Dimana mereka? Dia harus memastikan bahwa orangtuanya baik-baik saja. Seharusnya orangtuanya berada disini. Seharusnya—

"Crucio!"

Serangan tidak di duga menghantam Draco dengan telak. Dia terjatuh di lantai dan menggeliat kesakitan. Dia berteriak, menjerit kesakitan ketika tubuhnya serasa ditusuk ribuan pisau yang menembus sampai ke dalam organ tubuhnya. Otaknya tidak bisa berpikir lagi. Dia merasa kepalanya seperti akan meledak. Sakitnya sungguh tidak tertahankan.

Bellatrix Lestrange tertawa melihat korbannya begitu kesakitan karena kuatnya kutukan yang dia luncurkan.
"Draco, keponakanku tersayang. Benarkan yang kudengar dari kakak-beradik Carrow? Bahwa kau mengkhianati Pangeran Kegelapan? Kau berani melakukannya Draco?" Kata Bellatrix dengan suara manis berbahaya. Tongkatnya masih terarah pada Draco yang masih tergeletak di lantai, berusaha menemukan kembali kekuatannya.

"Jawab aku! Crucio!"

Draco kembali berteriak ketika kutukan Bellatrix kembali menghantamnya, bahkan ketika dia belum pulih dari rasa sakit yang di alaminya. Bellatrix menatapnya dengan seringai kejam. Draco terbatuk-batuk dan memuntahkan darah dari dalam mulutnya. Rongga dadanya terasa sesak. Dia sulit bernapas.

"Y—ya! A—aku t—tidak berada d—di pihakmu la—gi!" Kata Draco serak. Dia berusaha berdiri. Dia harus melawan. Dia harus mempertahankan diri. Dia menggenggam erat tongkat milik Rookwood di tangannya. Dengan melawan seluruh rasa sakitnya, dia bangkit menghadapi bibinya.

Bellatrix terpaku selama beberapa saat, menatap Draco yang berusaha bangkit di tengah kesakitannya. Dia masih menatap Draco yang telah berhasil berdiri—walaupun goyah—dengan murka. Tatapannya mulai dipenuhi dengan kebencian. Suaranya bergetar dalam kemarahan.

"Beraninya," bisik Bellatrix marah. "Beraninya kau melakukannya! Beraninya kau mengkhianati Pangeran Kegelapan!"

"Y—ya! Aku berani!" Jawab Draco.

Tongkat Bellatrix masih lurus terpancang pada Draco. Bibirnya mulai mengeluarkan seringaian.

"Expulso!"

Alih-alih mengarahkannya pada Draco, Bellatrix justru membelokkan tongkatnya dan menghantam salah satu pilar di dekat pintu Aula Besar—dekat Draco.

Pilar itu meledak, menimbulkan suara gemuruh yang keras ketika pilar itu rubuh. Draco terlambat melindungi diri. Bellatrix melihat dengan gembira ketika salah satu reruntuhan pilar itu menghantam Draco, menghadiahkan luka pada dahi Draco. Draco terjatuh dan detik berikutnya kaki kanannya tertimpa reruntuhan pilar yang cukup besar, yang sengaja diterbangkan oleh Bellatrix untuk menghantam kakinya dengan cukup keras.

Draco menjerit. Dia merasa sangat kesakitan. Draco berteriak-teriak. Sakit. Keringatnya bercucuran, bercampur dengan darah yang mengalir dari dahinya. Draco tidak bisa menahan rasa sakitnya lagi. Seluruh anggota dan organ tubuhnya seakan berteriak memprotes kesakitan.

"Itu akibatnya, Draco, kalau kau mengkhianati Pangeran Kegelapan. Oh, itu hanya pemanasan, Draco. Tidak apa-apa, sayang. Rasa sakit itu akan hilang karena sebentar lagi kau akan mati. Berterimakasihlah padaku, Draco. Tersenyumlah untuk saat terakhir hidupmu dan untuk pilihan bodohmu." Bellatrix menyunggingkan senyum sinis dan tertawa keras seperti orang gila. Tongkatnya teracung pada Draco. Matanya menatap tajam Draco.

"Selamat tinggal, sayang."

Draco memejamkan matanya, menunggu kematian datang menjemputnya. Dia sudah merasa amat sangat kesakitan. Mungkin kematian justru akan menghilangkan semua rasa sakitnya, seperti kata Bellatrix. Ya. Mungkin kematian lebih baik. Dia sudah tidak tahan lagi.

"Avada Keda—"

"TIDAK!"

Cahaya merah meluncur ke arah Bellatrix, meleset dan menyerempet pipi kanannya, meninggalkan torehan luka disana. Walaupun hanya menyerempet, tapi itu cukup untuk membuyarkan konsentrasi Bellatrix dan menggagalkan usahanya membunuh Draco.

Bellatrix menoleh, melihat siapa yang menyerangnya dan mendesis marah pada orang itu.

"Cissy."

Narcissa Malfoy berdiri dengan tongkat teracung pada Bellatrix. Tangannya sedikit gemetar karena marah melihat putra semata-wayangnya disiksa oleh kakaknya.

"Jangan berani-berani kau melukai atau membunuh anakku, Bella!" Bentak Narcissa.

"M—mum," bisik Draco lemah ditengah rasa sakitnya.

Bellatrix menatap marah Narcissa. Tangannya menyeka darah yang mengalir dari pipinya yang terluka. Kemudian dia mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya juga pada Narcissa. Sekarang kedua kakak-beradik itu sama-sama saling mengacungkan tongkat. Siap membunuh satu sama lain.

Narcissa baru membuka mulutnya untuk mengucapkan mantra ketika Bellatrix membuat gerakan menebas dan membuat Narcissa terjatuh dan berteriak kesakitan. Sayatan-sayatan muncul pada tubuh Narcissa. Tidak ada darah, tapi Narcissa merasa tubuhnya seperti tersabet pedang yang amat tajam. Suaranya melengking nyaring menusuk siapapun yang mendengarnya. Tapi tidak ada yang memperhatikannya, semua orang terlalu sibuk bertempur, semua ingin menjatuhkan setidaknya satu Pelahap Maut. Semua berebut untuk menyerang para Pelahap Maut.

Bellatrix tertawa kegirangan melihat adiknya menggelepar kesakitan dan menjerit-jerit.

"Jangan berani-berani kau melawan kakakmu, Cissy. Kalau kau tidak mau melihat anakmu mati, bagaimana kalau aku membunuhmu lebih dulu?" Kata Bellatrix sambil menggulung lengan jubahnya dan mengarahkan tongkatnya pada Narcissa.

"Mum..mum," panggil Draco lemah. Dia ingin bangkit. Dia ingin menolong ibunya. Dia harus melindungi ibunya. Harus! Tapi dia tidak berdaya. Tidak. Dia merasa kesakitannya bertambah ketika melihat ibunya disiksa. 'mum,' Airmata meleleh dari kedua mata abu-abu Draco. Dia merasa menjadi anak yang tidak berguna, tidak bisa melindungi ibunya sendiri.

"Tenanglah, Draco." Bellatrix menoleh memandang Draco. "Aku akan membunuhmu juga setelah aku membunuh adikku. Mengantrilah, Draco."

Bellatrix kembali menyunggingkan senyum sinis dan kembali menatap adiknya.

"Bersiap-siaplah, Cissy."

"Avada—"

Kilatan cahaya kembali menggagalkan Bellatrix untuk membunuh adiknya. Lagi. Cahaya itu menyerempetnya juga—kali ini di bahunya kirinya.

Hermione Granger berdiri tegak dengan tongkat teracung pada Bellatrix. Mata cokelatnya menatap Bellatrix dengan tajam. Gadis itu berdiri tanpa gentar, sekalipun Bellatrix menatapnya dengan murka karena usahanya membunuh digagalkan lagi untuk kedua kalinya. Kemarahannya semakin menggelegak, terutama karena dia digagalkan oleh gadis Darah-Lumpur, Hermione granger.

"Kau—kau!" Seru Bellatrix dengan murka. Matanya menyala-nyala dalam kemarahan. Tongkatnya kembali terangkat dan mengarah pada Hermione.

"Crucio!" Bellatrix langsung menyerang Hermione. Kutukannya meleset dan justru mengenai entah siapa yang lewat. Siapapun itu, dia langsung terjatuh dan menggelepar kesakitan.

"Stupefy!"

Bellatrix menangkis serangan Hermione dengan mudah.

"Crucio! Crucio!"

Hermione menghindari serangan Bellatrix dengan gesit. Berkali-kali dia berkelit, menunduk menghindari kilatan cahaya dari tongkat Bellatrix.

"Stupefy!" Seru Hermione. Cahaya merah meluncur dari tongkatnya menuju Bellatrix. Bellatrix menangkisnya dengan lambaian tongkatnya.

"Avis! Oppugno!"

Hermione menyihir sekumpulan burung-burung kecil dan membuatnya terbang ke arah Bellatrix. Burung-burung kecil itu meluncur seperti peluru sebelum dihancurkan seluruhnya oleh Bellatrix.

"Expelliarmus!" Terdengar seruan dari sisi lain Hermione. Mantra itu tertuju pada Bellatrix. Tongkat Bellatrix sedikit tergelincir dari tangannya, tapi berhasil dipertahankan pada saat terakhir.

Ginny Weasley dan Luna Lovegood muncul dengan tongkat teracung pada Bellatrix. Ginny-lah yang tadi meneriakkan mantra pelepas-senjata. Dengan berang Bellatrix menyerang Ginny dan Luna. Sekarang Bellatrix menghadapi tiga orang sekaligus.—Hermione, Ginny dan Luna.

Walaupun Hermione, Ginny dan Luna bertarung dengan sekuat tenaga, tapi Bellatrix tetap saja masih seimbang dengan mereka. Bellatrix meluncurkan Kutukan Maut, nyaris mengenai Ginny, hanya berjarak beberapa senti.

"JANGAN ANAK PEREMPUANKU!"

Mrs. Weasley melempar mantelnya sambil berlari, membebaskan lengannya. Bellatrix berputar di tempat, tertawa terbahak-bahak melihat penantang barunya.

"MINGGIR!" Teriak Mrs. Weasley kepada tiga gadis yang tadi melawan Bellatrix.

Setelah Mrs. Weasley mulai berduel dengan Bellatrix, Hermione berbalik dan segera menuju dua orang yang tadi disiksa Bellatrix. Narcissa Malfoy terduduk sambil memeluk anaknya. Rambutnya yang panjang terurai berantakan, menutupi wajah anaknya dari pandangan.

"Mrs. Malfoy! Anda baik-baik saja?" Tanya Hermione cemas. Dia berlutut di sebelah Narcissa, yang masih memeluk erat Draco.

Narcissa menoleh perlahan pada Hermione. Sorot matanya tampak ketakutan ketika melihat Hermione.

"Kau—k—kau—" Narcissa berusaha bicara dengan terbata-bata. "Granger?" bisiknya.

"Ya. Ya, ini saya," ujar Hermione. Hatinya sedikit mencelos. Apakah Narcissa Malfoy akan menyuruhnya untuk pergi menjauh? Apakah dia akan mengatakan bahwa dia jijik melihat Hermione dan menyuruhnya untuk tidak dekat-dekat dengan dirinya dan anaknya?

Di luar dugaan, Narcissa Malfoy justru mencengkram erat tangannya menggunakan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap memeluk anaknya yang tidak bergerak.

"Tolong—tolong aku—tolong—Draco—" bisik Narcissa dengan frustasi.

Hermione tertegun mendengar kata-kata Narcissa. Seorang Malfoy—nyonya Malfoy, meminta tolong padanya? Hermione Granger, si Darah-Lumpur?

"Tolong—" Suara Narcissa terdengar begitu putus asa sehingga Hermione kembali tersadar dan melihat keadaan Draco.

Draco Malfoy pingsan dalam pelukan ibunya. Dahinya yang terluka masih mengeluarkan darah. Hermione menatap kaki Draco dan merasa ngeri melihat banyaknya darah yang keluar dari kaki kanan Draco.

Hermione mengacungkan tongkatnya, membebaskan kaki Draco dari reruntuhan yang menimpanya. Dia mendaraskan mantra-mantra penyembuhan yang dia tahu. Dia tidak bisa menyembuhkan Draco sepenuhnya, tapi dia yakin Madam Pomfrey pasti bisa. Harus bisa!

"Cissy!"

"Lucius!"

Lucius Malfoy muncul dengan tergesa di antara orang-orang yang berlari-lari. Wajahnya tampak lebih pucat, apalagi setelah dia melihat istri dan anaknya. Tapi ketika dia melihat Hermione, wajahnya seketika memutih.

"Miss Granger? Cissy, apa yang terjadi? Draco? Kenapa dia, Cissy?" Lucius Malfoy langsung membanjiri istrinya dengan pertanyaan.

Narcissa Malfoy hanya menjawab pertanyaan suaminya dengan ratapan. Karena istrinya tidak juga menjawab, maka Lucius menoleh pada Hermione.

"Miss Granger?" Tanyanya dengan nada mendesak.

"Saya akan menjelaskannya nanti Mr. Malfoy. Sekarang kita harus membawa anak Anda ke Rumah Sakit.  Saya yakin Madam Pomfrey ada disana, merawat para korban luka," ujar Hermione.

"Ferula," ucap Hermione dan kaki kanan Draco langsung terbebat.

Tanpa menggunakan sihir, Lucius Malfoy menggendong Draco dan berlari menuju Rumah Sakit, di susul oleh Narcissa. Hermione sedikit tercengang melihat perlakuan Lucius pada putranya. Baru kali ini Hermione melihat seorang Lucius Malfoy menunjukkan perhatiannya pada Draco.

Sedetik bimbang, Hermione memutuskan untuk ikut pergi ke Rumah Sakit. Dengan segera dia berlari ke arah Rumah Sakit. Dia melupakan bahwa sedang terjadi perang dalam Aula Besar. Dia sama sekali tidak tahu, bahwa setelah dia pergi, Aula Besar bersorak karena kemunculan Harry Potter secara tiba-tiba. Dia juga tidak akan menyaksikan sejarah, dimana seorang Penyihir Hitam Terhebat dikalahkan oleh sahabatnya. Tidak. Yang dia pedulikan saat ini hanyalah keadaan Draco Malfoy.
.
.
.
To be continue..

15 Oktober 2010,
Felicia Rena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors