Welcome to Felicia Rena's World. I hope you like this world. Thanx for visiting...

Destined Meeting


Title: Destined Meeting
Author: Felicia Rena
Rating: PG 13+
Genre: Fluff
Main Cast: Im Yoona, Lee Jonghyun
NO PLAGIAT, Please...:)
.
.
.



Yoona menghela napasnya keras-keras sambil setengah merutuk kesal. Hari ini benar-benar hari sial baginya. Ia pulang lebih lama dari sebelumnya karena harus membersihkan kafe tempat ia bekerja sambilan sebagai hukuman keterlambatannya. Padahal tadi pagi ia terlambat karena harus pergi ke kampus-nya terlebih dulu untuk mengumpulkan tugas yang mendadak harus dikumpulkan. Sekarang ia juga harus pulang sendiri karena Yuri yang biasanya pulang bersamanya sudah pulang lebih dulu. Kemudian, baru saja sampai di halte bus, tepat saat itu bus yang akan dinaikinya berjalan pergi dan Yoona tidak sanggup mengejarnya.

Yoona ingin berteriak sekeras-kerasnya kalau saja ia tidak takut para penghuni rumah yang dilewatinya akan melempar sesuatu padanya. Dengan langkah gontai, akhirnya ia berjalan kaki sendirian menuju apartemennya yang berjarak sekitar tiga kilometer jauhnya.

Ketika melewati sebuah gang, Yoona berhenti dan menoleh ke arah gang tersebut sambil berpikir.

“Sepertinya ada jalan pintas kalau lewat sini,” gumam Yoona pada dirinya sendiri.

Selama beberapa saat, ia menimbang-nimbang. Gang itu tampak cukup lebar bahkan untuk dimasuki sebuah mobil, tetapi hanya sedikit lampu yang menerangi gang itu. Namun karena sudah merasa lelah dan hanya ingin cepat sampai di apartemennya, akhirnya Yoona memutuskan untuk melewati gang itu.

Sampai di tengah perjalanannya melewati gang itu, Yoona masih bertanya-tanya apakah keputusannya tepat untuk mengambil jalan pintas ini atau tidak. Baru saja Yoona bertanya seperti itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba saja jalannya dihadang oleh segerombolan laki-laki yang muncul dari depan dan belakangnya.

Yoona hanya diam mematung sambil memandang berkeliling. Otaknya yang sudah lelah untuk berpikir tiba-tiba meneriakkan sirine tanda bahaya. Matanya yang semula sudah siap dipejamkan kapan saja kembali terbuka lebar. Ia memang pernah mempelajari bela diri ketika masih SMP dulu, tetapi untuk melawan sepuluh laki-laki sekaligus, sepertinya sia-sia saja.

“Nona manis, sendirian saja?” tanya salah satu dari mereka sambil menyeringai.

Yoona sama sekali tidak menjawab dan hanya memeluk tas-nya erat-erat.

“Bagaimana kalau kita bermain-main sebentar?” tanya yang lain sambil bergerak mendekati Yoona.

“Jangan mendekat!” teriak Yoona. “Apa yang kalian inginkan?”

“Jangan takut, kami hanya akan bermain-main sebentar kemudian pergi,” jawab laki-laki yang pertama.

Mereka mulai bergerak mendekati Yoona yang sudah merapat ke dinding gang dan tampak ketakutan. Yoona sudah menutup matanya dan ingin sekali berteriak jika saja suaranya mau keluar.

Tiba-tiba saja ia mendengar suara pukulan dan tendangan. Ada apa itu? Apakah mereka mulai berkelahi sendiri? pikir Yoona. Dengan takut-takut, Yoona mulai membuka sebelah matanya tepat ketika salah satu laki-laki yang menghadangnya tadi jatuh ketanah. Yoona membekap mulutnya sendiri kaget ketika melihat teman-teman dari laki-laki yang jatuh tadi juga mulai berjatuhan.

Perlahan Yoona mendongakkan kepalanya dan melihat siluet seorang laki-laki yang berdiri dibawah penerangan satu-satunya lampu yang ada di gang itu. Sepertinya orang itu yang sudah memukul jatuh orang-orang jahat tadi. Laki-laki itu mulai bergerak mendekati Yoona yang kembali meringkuk takut. Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya pada Yoona.

Gwenchanayo? Apa kau baik-baik saja?” tanya laki-laki itu dengan tangan terulur.

Yoona menatap tangan itu dan akhirnya meraihnya dengan sedikit takut, “Aku baik-baik saja.”

Laki-laki itu membantu Yoona berdiri. Ketika sudah berdiri, Yoona baru bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki yang menolongnya. Laki-laki itu tersenyum ramah padanya, memperlihatkan lesung pipinya yang menawan.

Gamsahamnida. Terima kasih sudah menolongku,” ujar Yoona sambil melihat ke sekelilingnya. Beberapa dari orang-orang yang menghadangnya tadi masih terkapar, mungkin pingsan. Yang lainnya sudah berlari menyelamatkan diri mereka. Sebenarnya Yoona agak terkejut karena laki-laki yang berdiri di hadapannya ini mampu menangani sepuluh orang sekaligus hanya sendirian.

“Aku mempelajari judo,” kata laki-laki itu seolah bisa membaca pertanyaan di kepala Yoona. “Aku pernah memenangkan sabuk hitam ketika masih sekolah dulu.”

“Oh, begitu,” Yoona menganggukkan kepalanya paham. Sekarang, setelah situasinya lebih aman, otaknya kembali melemah dan matanya kembali terasa lelah.

“Apakah rumahmu di dekat sini?” tanya laki-laki itu.

“Eh?” Yoona menatap laki-laki itu dengan setengah bingung.  Sepertinya kesadarannya juga sudah mulai menurun karena lelah, terutama setelah peristiwa tidak mengenakkan yang dialaminya barusan.

“Apakah rumahmu di dekat sini?” ulang laki-laki itu.

“Tidak. Tidak. Rumahku masih sekitar tiga kilometer lagi,” jawab Yoona.

“Bagaimana kalau aku mengantarkanmu pulang?” tawar laki-laki itu. “Aku membawa mobil, ada diluar gang. Aku sedang melewati gang ini ketika aku mendengar suara teriakanmu. Untung aku sedang membuka kaca mobilku saat itu sehingga aku bisa mendengar suaramu.”

Tawaran itu tampak sangat menggiurkan bagi Yoona. Ia bisa cepat sampai ke apartemenya dan cepat beristirahat. Namun, berada satu mobil dengan orang yang baru saja kau temui, terutama dengan apa yang baru saja kau alami—walaupun orang itu adalah orang yang menolongmu—tampaknya bukanlah hal yang bijaksana.

“Terima kasih, tapi kurasa lebih baik aku jalan saja,” tolak Yoona sambil tersenyum sopan.

“Benarkah? Apakah kau masih sanggup berjalan? Kau terlihat sudah sangat lelah. Aku mungkin tidak bisa menolongmu untuk kedua kalinya nanti,” balas laki-laki itu sambil tersenyum mengamati Yoona.

Yoona menghela napasnya lagi. Laki-laki itu benar. Ia sebenarnya sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Dan dibanding menghadapi sepuluh orang seperti tadi, sepertinya menghadapi hanya satu orang yang baru saja menolongnya terdengar lebih baik. Akhirnya Yoona mengangguk.

“Baiklah. Aku menerima tawaranmu, kalau kau tidak keberatan,” ucap Yoona.

Laki-laki itu hanya tersenyum kemudian mulai berbalik dan melangkah sambil berkata, “Ayo.”

“Tidak apa-apa kan kalau jendelanya terbuka seperti ini? Aku agak kepanasan malam ini,” ujar laki-laki itu sesampainya mereka di dalam mobilnya.

“Aku tidak keberatan,” jawab Yoona. Menurutnya, dengan jendela terbuka juga akan lebih memudahkannya untuk berteriak jika laki-laki ini ternyata menjebaknya.

Yoona memberikan alamatnya pada laki-laki itu. Kemudian selama belasan menit perjalanan berikutnya, suasana hening menyelimuti mereka berdua.

Mobil kemudian berhenti di depan sebuah bangunan apartemen. Laki-laki itu menoleh pada Yoona dan melihat bahwa gadis itu sudah jatuh tertidur.

“Sepertinya ia lelah sekali,” gumam laki-laki itu sambil tersenyum geli. Tepat pada saat itu, Yoona tiba-tiba terbangun dengan kaget.

“Maaf, aku tertidur,” ucap Yoona sambil menunduk malu dan membuka pintu mobil dengan cepat.

“Terima kasih sudah menolongku dan mengantarku,” tambah Yoona sambil melongok melalui jendela mobil yang terbuka.

“Sama-sama. Kalau begitu, aku pergi dulu,” balas laki-laki itu sambil tersenyum lagi dan mulai menjalankan mobilnya pergi.

Kedua mata Yoona mengikuti mobil itu sampai menghilang dari jarak penglihatannya. Dalam hatinya, gadis itu kembali merutuk. Bisa-bisanya ia tertidur di dalam mobil orang yang baru saja ditemuinya dan bahkan tidak ia ketahui namanya.

“Ah! Benar juga! Aku belum sempat bertanya siapa namanya!” Yoona menepuk dahinya sendiri.

“Ah, sudahlah. Toh belum tentu aku akan bertemu lagi dengannya,” batin Yoona sambil berjalan masuk ke dalam apartemennya. “Malam yang melelahkan.”
.

Yoona mengusap wajahnya lelah. Semalam ia harus lembur mengerjakan tugas kuliahnya sehingga ia hanya mampu tidur selama dua jam. Siang ini setelah menyelesaikan kuliah paginya, ia langsung datang ke kafe tempatnya bekerja part-time. Karena saat ini sudah jam makan siang, kafe-pun tampak ramai dengan pengunjung. Yoona baru saja selesai mengantarkan pesanan ketika namanya kembali dipanggil.

“Yoona-ya! Antarkan ini ke meja nomor sebelas!”

Ne!”

Yoona segera mengambil nampan berisi segelas jus jeruk dan mulai berjalan ke meja nomor sebelas. Di meja itu, duduk seorang laki-laki yang sedang membaca koran.

“Ini pesanan Anda. Satu gelas jus jeruk. Selamat menikmati,” ujar Yoona sambil meletakkan gelas di atas meja tepat ketika laki-laki itu melipat koran yang dibacanya.

“Kau kan—“ Yoona terkejut ketika melihat wajah laki-laki itu. Ternyata laki-laki itu adalah orang yang menolongnya beberapa hari yang lalu.

Laki-laki itu menatap Yoona dengan kening berkerut. Ekspresinya yang tampak bingung membuat Yoona menjadi salah tingkah.

“Err, kau pernah menolongku beberapa hari yang lalu. Apa kau masih ingat?” Yoona mencoba untuk mengingatkan laki-laki itu.

Selama sejenak laki-laki itu masih menatap Yoona dengan keningnya yang berkerut. Kemudian seulas senyum mulai muncul di wajahnya, memperlihatkan lesung pipi yang sangat diingat oleh Yoona.

“Apa kau sudah ingat?” tanya Yoona sambil ikut tersenyum.

“Aku sering mendengar hal itu, nona. Jadi kau wanita yang mana? Yang kutolong saat hampir tenggelam atau saat nyaris tertabrak mobil?” balas laki-laki itu.

Yoona mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Memangnya laki-laki ini siapa? Superhero? Superman atau batman?

“Sebanyak itukah wanita yang kau tolong? Memangnya kau ini apa? Superhero?” tanya Yoona heran dan membuat laki-laki itu tertawa.

“Tidak. Aku bukan superhero. Aku hanya tidak bisa melihat wanita berada dalam kesulitan,” jawab laki-laki itu sambil menenggak jus jeruknya sampai hampir habis.

“Aku belum tahu siapa namamu,” ujar Yoona.

Laki-laki itu kembali tersenyum sambil menoleh ke arah Yoona, “Nona, apa kau tahu? Kebanyakan juga gadis-gadis  yang mengaku pernah kutolong ternyata hanya ingin berkenalan denganku. Jadi kau masuk kategori yang mana?”

Yoona membuka mulutnya bengong mendengar jawaban laki-laki itu. Sementara itu, laki-laki berlesung pipi itu tertawa pelan sambil bangkit berdiri.

“Kalau aku memang pernah menolongmu, maka jika kita bertemu lagi, berarti itu takdir. Saat itu aku baru akan memberitahukan namaku,” ucap laki-laki itu sebelum berjalan pergi meninggalkan Yoona yang masih bengong menatapnya.

“Apa-apaan laki-laki itu? Kenapa bisa ada orang aneh seperti dia?” gumam Yoona setelah laki-laki itu keluar dari kafe.

“Lagipula siapa yang mau bertemu lagi dengan orang aneh sepertimu,” gerutu Yoona sambil mengambil gelas berisi jus jeruk yang sudah hampir habis di meja nomor sebelas itu.

“Memangnya dia pikir dia itu siapa? Casanova? Percaya diri sekali dia!” Yoona masih menggerutu kesal sambil mencuci piring-piring dan gelas yang kotor. “Apa dia pikir semua wanita akan jatuh hati padanya? Apa dia berpikir bahwa dia itu tampan sekali?”

“Siapa yang tampan?”

Yoona hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya ketika Yuri tiba-tiba muncul dan mengeluarkan suara di sebelahnya. Sepertinya sejak tadi ia terlalu sibuk menggerutu sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Yuri.

Ya! Kwon Yuri! Kau ini mengagetkan aku saja!” omel Yoona sambil melanjutkan pekerjaannya.

Ya! Im Yoona! Kau saja yang terlalu sibuk mengomel sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku,” balas Yuri.

“Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu kesal? Dan siapa yang kau sebut tampan tadi?” tanya Yuri dengan raut wajah yang menunjukkan rasa penasarannya.

“Sama sekali tidak ada hubungannya denganmu,” ujar Yoona. “Dan aku tidak menyebut siapapun tampan.”

“Lalu kenapa kau terlihat kesal seperti itu? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu sekesal ini,” kata Yuri sambil tersenyum jahil. “Apakah laki-laki?”

“Sudah kubilang bukan urusanmu! Urus saja urusanmu sendiri. Aku sama sekali tidak ingin membahas hal itu,” ucap Yoona.

“Aish, kau sensitif sekali sih hari ini?” kata Yuri sambil mencebikkan bibirnya.

“Aku sedang malas berdebat denganmu, Yul,” balas Yoona.

“Baiklah. Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi,” ujar Yuri.

“Oh ya!” Yuri membalikkan tubuhnya menghadap Yoona sambil mengatupkan kedua tangannya seolah memohon pada Yoona. “Mianhae. Maaf nanti aku tidak bisa pulang bersamamu.”

Yoona menghela napasnya. “Araseo. Aku mengerti. Minho pasti mengajakmu kencan lagi kan?”

Yuri mengangkat sudut bibirnya membentuk cengiran sebagai jawaban atas pertanyaan Yoona sementara sahabatnya itu hanya meliriknya sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.
.
Yoona duduk sendirian di halte bus. Sesekali ia melirik ke arah jam tangannya. Seharusnya sebentar lagi bus yang akan ia naiki akan segera datang. Syukurlah ia bisa pulang tepat waktu hari ini sehingga ia tidak akan ketinggalan bus lagi.

Benar saja, tidak lama kemudian bus yang ditunggu oleh Yoona akhirnya datang. Yoona segera naik dan masuk ke dalam bus. Di dalam bus ternyata cukup ramai. Hampir semua tempat duduk sudah penuh kecuali satu tempat di tengah bus.

Yoona mendekati tempat duduk itu dengan hati-hati sementara bus sudah kembali berjalan. Hanya ada seorang laki-laki yang duduk disana. Laki-laki itu menggunakan topi yang menutupi wajahnya. Yoona sedikit ragu untuk bertanya kalau-kalau ternyata laki-laki itu sedang tidur.

“Permisi, maaf, apakah tempat ini kosong?” tanya Yoona akhirnya.

Laki-laki itu membuka topinya dan menoleh ke arah Yoona. Gadis itu membelalakkan matanya kaget ketika melihat laki-laki itu. Kenapa ia bisa bertemu lagi dengannya?

“Ini benar-benar takdir,” kata laki-laki itu sambil tersenyum manis sambil menunjuk ke tempat kosong disebelahnya, “tempat itu kosong. Silakan duduk.”

Masih dengan setengah tidak percaya, Yoona duduk di sebelah laki-laki itu. Sesekali ia melirik ke arah laki-laki yang masih menatapnya sambil tersenyum.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Yoona akhirnya. Ia mulai merasa risih karena terus ditatap oleh laki-laki yang bahkan belum ia ketahui namanya itu.

“Aku sudah mengingatmu,” jawab laki-laki itu.

“Benarkah?” balas Yoona malas. “Jadi akhirnya kau menyadari kalau aku tidak termasuk kategori yang mengaku-aku hanya karena ingin berkenalan denganmu?”

Laki-laki itu tertawa dengan suaranya yang berat namun terdengar lembut.

“Kenapa kau naik bus? Bukankah kau punya mobil?” tanya Yoona.

“Lalu kenapa? Apakah jika kau memiliki mobil lalu kau tidak boleh naik bus umum?” balas laki-laki itu.

Yoona mengerjapkan kedua matanya. “Kau tahu? Kau ini benar-benar orang paling aneh yang pernah kutemui,” kata Yoona.

“Aku akan menganggap itu sebagai pujian, nona,” ucap laki-laki itu.

Selama beberapa menit berikutnya, tidak ada lagi di antara mereka yang mengeluarkan suara. Laki-laki itu tampak sibuk memperhatikan jalanan di luar jendela. Yoona sendiri sibuk dengan pikirannya sambil sesekali melirik ke arah laki-laki di sebelahnya.

Setelah tiga kali bertemu dengan laki-laki itu, entah mengapa Yoona merasakan suatu perasaan familiar. Seolah ia sudah sangat mengenal laki-laki itu. Baik tatapan matanya maupun gaya bicara serta senyuman laki-laki itu tampak tidak asing bagi Yoona.

Laki-laki itu tiba-tiba menolehkan wajahnya menatap Yoona yang masih menatapnya. Kaget karena tiba-tiba kedua mata mereka bertemu, Yoona segera menundukkan wajahnya yang mulai merona karena malu.

“Kau tahu?” Laki-laki itu tersenyum misterius. “Tadi aku sudah berkata kalau aku mengingatmu kan?”

Yoona mengangkat kepalanya dan balas menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak mengerti.

“Tapi sepertinya kau tidak mengingatku,” lanjut laki-laki itu.

Yoona mengernyitkan keningnya bingung. Laki-laki itu tersenyum lebih lembut dari biasanya dan membawa suatu perasaan berdesir dalam diri Yoona. Jantung gadis itu mulai melonjak dan berdetak lebih cepat dari normalnya.

Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke luar jendela lagi, “Ah, aku harus turun disini.”

Sambil bangkit berdiri, laki-laki itu kembali tersenyum pada Yoona. “Senang bertemu lagi denganmu, Yoona-ya.”

Yoona masih diam menatap laki-laki itu yang sudah melewatinya dan mulai berjalan menuju badan depan bus dan hendak turun. Bagaimana laki-laki itu bisa mengetahui namanya? Yoona mengerjapkan matanya bingung.
Tiba-tiba saja kepalanya dipenuhi dengan berbagai kenangan masa lalunya. Bayangan-bayangan maupun suara-suara berkelebatan dengan cepat dalam benaknya.

Bus mulai berjalan kembali dan membuat Yoona tersentak kaget. Dengan cepat ia mengambil tasnya dan setengah berlari menuju bagian depan bus tanpa mempedulikan penumpang lain yang menatapnya dengan tatapan mencela. Ia kemudian segera turun setelah meminta maaf pada supir bus.

Yoona menoleh ke kanan dan kirinya mencoba menemukan sosok laki-laki itu. Ia kemudian memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri dan berlari. Beberapa meter di depannya, Yoona akhirnya menemukan laki-laki itu.

Ya! Kau!” panggil Yoona sambil tetap berusaha mengejar laki-laki itu. “Kau! Laki-laki aneh!”

Laki-laki itu berhenti berjalan lalu menoleh ke belakang. Kedua matanya menatap bingung Yoona yang berlari mendekatinya. Yoona berhenti sekitar tiga meter di depan laki-laki itu dengan napas tersengal.

“Nama—,” ucap Yoona yang masih berusaha mengatur napasnya. “Namamu.”

Laki-laki itu hanya menatap Yoona dengan kedua alis terangkat.

“Bukankah kau berkata bahwa jika kita bertemu lagi, maka kau akan memberitahukan namamu?” Yoona mengingatkan laki-laki itu.

Laki-laki itu mulai tersenyum. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya, ia berjalan mendekati Yoona sampai hanya menyisakan jarak satu meter di antara mereka.

“Apa kau merindukanku?” tanya laki-laki itu.

Yoona menatap laki-laki itu kesal. Detik berikutnya, Yoona sudah menyerang laki-laki itu dengan memukuli dadanya.

Ya! Lee Jonghyun! Beraninya kau muncul dihadapanku dan bersikap seolah kau tidak mengenalku seperti itu! Kenapa kau pergi lama sekali? Bukankah kau berjanji untuk segera menemuiku? Kenapa kau baru datang sekarang!” Yoona menyerang laki-laki itu dengan berbagai pertanyaan.

Jonghyun tertawa sambil menahan kedua tangan Yoona yang memukuli dadanya. Yoona masih menatapnya dengan sorot mata kesal.

“Bukankah kau yang tidak mengenaliku?” tanya Jonghyun sambil tersenyum geli.

Yoona memanyunkan bibirnya. Jonghyun memang benar. Awalnya ia memang tidak mengenali laki-laki itu. Bagaimana tidak? Laki-laki itu sudah berubah jauh sejak terakhir kali mereka bertemu lima belas tahun yang lalu. Jonghyun sudah bukan lagi anak laki-laki yang sering bermain dengannya dalam ingatan Yoona. Anak laki-laki itu sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa.

“Aku ingin sekali segera kembali ke Korea dan menemuimu, tetapi itu tidak semudah yang kau bayangkan,” lanjut Jonghyun.

Yoona menyentak lepas kedua tangannya yang masih dipegang oleh Jonghyun. Gadis itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatap Jonghyun dengan kedua mata yang disipitkan.

“Apa kau tidak tahu berapa lama aku menunggumu kembali?” tanya Yoona dengan suara pelan nyaris menyerupai bisikan.

Jonghyun tersenyum lebar dan menarik Yoona ke dalam pelukannya secara tiba-tiba. Yoona membelalakkan matanya kaget ketika Jonghyun tiba-tiba menariknya dan mendekapnya erat. Jantungnya mulai berpacu lebih cepat lagi.

Mianhae,” ucap Jonghyun. “Maaf aku membuatmu menunggu terlalu lama.”

Yoona balas memeluk laki-laki itu dan membenamkan wajahnya di dada bidang laki-laki itu. Jonghyun tumbuh sangat tinggi sehingga puncak kepala Yoona hanya mencapai bahunya saja.

Bogoshipeoso,” bisik Yoona lirih namun masih bisa didengar oleh Jonghyun.

Laki-laki itu mengeratkan pelukannya dan membelai lembut rambut panjang Yoona, “Nado bogoshipeoso.”
.
Jonghyun berlari kesana-kemari. Ia sudah mengunjungi tempat-tempat dimana ia dan gadis kecil itu biasa bermain bersama namun ia masih juga belum bisa menemukannya. Jonghyun kemudian berlari menuju sekolahnya.

Sesampainya ia di sekolah, Jonghyun segera menuju halaman belakang sekolah. Di belakang sekolahnya ada pipa-pipa yang cukup besar untuk dimasuki anak kecil. Jonghyun mendekati pipa itu dan menemukan seorang anak perempuan sedang meringkuk dengan kedua tangan memeluk lutut di dalamnya.

“Yoona-ya,” panggil Jonghyun.

Anak perempuan itu menoleh ke arah Jonghyun dengan kedua mata yang merah. Wajah gadis kecil itu sudah basah dengan airmata.

Jonghyun tersenyum lembut dan merangkak masuk ke dalam pipa itu. Ia duduk di sebelah Yoona dan ikut memeluk lututnya.

Selama beberapa saat, mereka hanya diam dan tampak sibuk dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya Yoona kembali menoleh ke arah Jonghyun dan membuka suaranya.

“Apakah kau benar-benar akan pergi ke Jepang?” tanya Yoona dengan suara serak.

Jonghyun balas menatap Yoona dan mengangguk pelan. Yoona melengos dan membenamkan kepalanya di antara lututnya lagi.

“Kenapa kau harus pergi?” bisik Yoona pelan. Kata-katanya nyaris tidak terdengar karena isak tangisnya, “Kenapa kau meninggalkanku?”

“Mianhae. Kalau bisa, aku juga tidak ingin pergi dan ingin tetap bersamamu. Tapi—aku harus pergi, Yoona-ya,” ucap Jonghyun.

Yoona tidak menanggapi Jonghyun lagi. Ia masih membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Jonghyun menunduk dalam diam. Ia menghela napasnya sebelum kembali menatap Yoona.

“Aku pasti akan kembali,” jawab Jonghyun.

“Benarkah? Apa kau benar-benar akan kembali?” Yoona menoleh dengan cepat ke arah Jonghyun. Ia menatap Jonghyun dengan kedua mata berbinar. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menghapus airmatanya.

Jonghyun menganggukkan kepalanya mantap, “ Ya. Aku pasti akan kembali lagi kesini. Aku akan kembali untuk menemuimu.”

“Kau janji?” Yoona menyodorkan jari kelingkingnya pada Jonghyun.

“Aku berjanji,” balas Jonghyun sambil mengaitkan kelingkingnya sendiri pada kelingking Yoona.
.

The End
.
Please leave your comment :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors